Selasa, 07 Januari 2014

Budaya Mudik di Indonesia



Budaya Mudik di Indonesia



MUDIK (pulang atau kembali ke kampung halaman) menjelang lebaran atau Hari Raya Idul Fitri (terkadang juga lebaran Hari Raya Haji atau Idul Adha) setiap tahunnya menjadi satu fenomena masyarakat Muslim modern di berbagai belahan dunia. Tradisi ini mengasyikkan. Betapa tidak, setelah beberapa lama merantau di “negeri” orang --jauh dari orang tua dan sanak kerabat lainnya-- kerap menimbulkan kerinduan akan kampung halaman atau tanah kelahiran.
Keinginan untuk berjumpa kembali dengan orang-orang terdekat yang telah lama (minimal satu tahun terakhir) ditinggalkan itu lumrah adanya dan menjadi harapan semua pihak. Oleh karenanya mudik menjadi yang sesuatu didambakan banyak orang. Terlebih pada hari baik dan bulan baik menjelang Hari Raya Idul Fitri ini.
Fenomena mudik bukan hanya masyarakat Aceh, tetapi masyarakat Muslim Indonesia dan malah muslim dunia juga melakukannya. Berapa banyak TKI-TKW dan mahasiswa yang kembali ke Indonesia pada masa-masa jelang lebaran, misalnya dari Malaysia, Singapura, Korea, dan malah dari Arab Saudi serta Negara-negara Timur Tengah lainnya. Begitu juga dengan orang-orang Maghrib (Marokko), Tunisia dan Aj-Jazair yang bekerja di negara-negara lain di Eropa, Amerika dan di negara-negara Timur Tengah sendiri, mereka juga pulang kampung atau mudik pada hari-hari baik, khususnya pada menjelang lebaran Idul Fitri.
Mereka pulang mulai yang menggunakan pesawat terbang, kapal laut, bus, kereta api, sampai mobil dan sepeda motor, sehingga kadang-kadang jalan menjadi penuh sesak dan macet. Pertanyaannya, bagaimana perspektif syariat Islam dalam hal mudik? Adakah anjuran atau larangan soal pulang kampung tersebut?
Dalam hal ini, jika dicermati satu firman Allah Swt berikut: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu persekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu Sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa’: 36)
Dalam ayat tersebut di atas, Allah Swt dengan jelas dan tegas memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik kepada orang tua, karib kerabat, tetangga, teman sejawat dan seterusnya. Dan ini menjadi satu kewajiban bagi semua hamba yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Berbuat baik dimaksudkan antara lain dengan mudik untuk bertemu, bersalaman guna saling memaafkan dan sampai-sampai melepas kerinduan.
Tidak hanya itu bagi pemudik biasanya membawa pulang sejumlah uang dan barang sebagai hasil jerih payahnya selama di perantauan. Pemudik yang baik, biasanya tidak hanya diperuntukkan bagi keluarga utamanya saja, tetapi juga dia berbagi untuk keluarga dekat, tetangga dan teman sejawat dan seterusnya. Biasanya malah mengadakan kenduri adalah bentuk syukur nikmat dan bersedekah dengan lebih luas dan merata kepada masyarakatnya. Semua itu menjadi daya tarik dan kebanggaan sendiri bagi pemudik, calon perantau lain dan keluarganya.
Dari sisi lain lagi, dapat dilihat mudik  sebagai upaya menyambung dan mempererat hubungan silaturrahim. Setelah sekian lama mereka tidak bertemu, tidak ngumpul dan tidak melakukan tukar informasi, maka dengan mudik tali silaturrahim akan tersambung. Lebih-lebih bagi orang yang paham akan pentingnya bersilaturrahim, yaitu akan dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka pilihan untuk mudik menjadi lebih bermakna dan berguna bagi kehidupan seseorang di masa datang, sebagaimana sabda Nabi saw: “Dari Anas ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkaan umurnya, maka hendaklah ia suka bersilaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Kekurangan budaya mudik:
1.    Kemacetan PANTURA, atau PANTAI UTARA. Jalur ini merupakan jalur terpadat selama Mudik. Untuk tahun ini  PU sudah menyelesaikan perbaikan jalur yang sekarang sudah sampai 90%. Diharapkan lebaran ini pekerjaan selesai.

2.    Mengajak sahabat, rekan dan saudara untuk bergabung bekerja di Kota besar. Hal ini sudah menjadi tradisi jika pulang ke desa, sewaktu  kembali ke Kota besar biasanya mengajak teman atau saudara untuk bersama-sama berjuang melawan arus metropolitan. Nah sehingga pada pasca lebaran biasanya terjadi peningkatan jumlah penduduk di Kota besar. Masyarakat Indonesia masih percaya bahwa hidup di Kota Besar lebih Menarik dan lebih Enak. Padahal sebenarnya potensi daerah lebih unggul jika benar-benar dimanfaatkan dengan optimal. Dengan perkembangan teknologi dan informasi secepat ini, marketing sudah sangat mudah.


3.    Kecelakaan, Kejadian ini pasti terjadi dikarenakan banyaknya  masyarakat indonesia yang melakukan Mudik, sehingga probabiliti untuk terjadi kecelakaan semakin besar. Disamping kesadaran akan berlalulintas di indonesia masih sangat lemah. kecelakaanumumnya diakibatkan kelalaian pengemudi dalam berkendara. Mereka mengabaikan beragam peraturan dan rambu lalu lintas, seperti memotongbahu jalan dan melewati jalur rel kereta api setelah ditutup petugas.Selain itu, kecelakaan diakibatkan ketidakdisiplinan dalam menumpang kendaraan umum, seperti duduk di atas atau pinggir gerbong kereta apidan ‘menggantung’ di pintu bis menuju daerah, serta faktor kelelahan.


4.    Pencurian, nah.. ini sering terjadi di Kota besar, karena penghuninya banyak yang Mudik sehingga rumah yang ada di Kota tidak dijaga. akhirnya menimbulkan keinginan bagi orang yang tertarik untuk mencurinya.

5.    Menggadaikan barang di Pegadaian, kejadian ini tidak hanya terjadi di Kota besar namun di Desa-desapun terjadi kegiatan menggadaikan barang. Masyarakat kita masih berperilaku konsumtif dalam kegiatan lebaran. Bahwa berbaju baru dan Makan makanan enak adalah suatu keharusan dalam Lebaran. Jika mereka tidak punya Uang mereka rela menggadaikan barang miliknya untuk digantikan dengan Uang. Sebab yg lain adalah jika mereka tidak ingin beresiko akan kehilangan barang barang berharga mereka cenderung menitipkan barangnya ke pegadaian,selain aman juga mendapatkan uang untuk perjalanan Pulang mudik.


6.    Berkaitan dengan kedisiplinan dan etika kerja. Ramadhan yangsemestinya membekali kita dengan kesabaran dan kedisiplinan dalamsegala  kesempatan, rupanya tidak mampu mengubah kebiasaan masyarakatuntuk segera memenuhi panggilan kewajiban berprofesi.  Hal inidibuktikan oleh fakta di kalangan PNS se-nusantara. Meskipun pemerintahtelah memperingatkan akan memberikan sanksi tegas kepada pegawai yangmangkir di hari pertama setelah cuti bersama lebaran,ribuan PNS memilihtetap melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Tren yang sama punberlaku di kantor-kantor swasta. Mudik menjadi alasan utama yangdipakai orang untuk melegitimasi ketidakhadiran mereka ditempat kerja.Tanpa disadari konvensi tidak tertulis ini menyebabkannegara mengalamikerugian, baik dari aspek pelayanan publik maupunpendapatan.

Kelebihan dari budaya mudik:
1.    Jalanan di Jakarta lebih leluasa dari hari-hari biasanya. Maklum sebagian besar yg      mencari nafkah di jakarta sebagian besar kaum urban.
2.    Tersedianya banyak empty seat transportasi darat, udara, (meski jarang) laut menuju jakarta dari daerah lain di Indonesia. Sehingga tidak perlu repot2 untuk booking tiket dari bulan2 sebelumnya.
3.    Sebagai salah satu kota yg dijuluki "City that never sleeps", tempat-tempat hiburan di jakarta (kecuali hiburan malam yg tutup saat ramadhan sampai beberapa hari setelah lebaran) sangatlah lapang sehingga kita tidak perlu mengantri lama ataupun menghabiskan waktu mencari tempat parkir.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar